/

Tri Hita Karana: Filosofi Bali untuk Pariwisata Berkelanjutan

Bali, Pulau Dewata, telah dikenal sebagai tujuan wisata populer selama beberapa dekade, dengan pariwisata sebagai penggerak utama perekonomiannya sejak tahun 1930-an. Pemerintah Hindia Belanda membangun replika rumah adat Bali dan menghadirkan sekitar 50 penari dan musisi di Pameran Kolonial Paris pada tahun 1931, yang membantu memamerkan budaya dan kekayaan alam Bali, menarik jutaan pengunjung. Sejak itu, Bali menjadi salah satu tujuan wisata paling populer di Asia, didukung oleh dinas pariwisata pemerintah Hindia Belanda. Keindahan Bali tetap menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara bahkan setelah Indonesia merdeka, dan orang Bali telah memulai dan memiliki bisnis, memanfaatkan potensi pariwisata secara maksimal.

Namun, pesatnya pertumbuhan industri berbasis pariwisata di pulau itu telah mempengaruhi masyarakat Bali, budaya, dan pelestarian alam. Beberapa sawah yang mendukung ketahanan pangan di Bali dan Tanah Air telah diubah menjadi hotel, vila, resor mewah, restoran, kafe, dan tempat hiburan. Akibatnya, masalah seperti gentrifikasi, limbah yang meluap, praktik budaya dan tradisional tertinggal, dan masalah pasokan air pun muncul.

Untuk mengembalikan keseimbangan di Bali, para pelaku bisnis pariwisata mengambil langkah mengembalikan pariwisata Bali ke akarnya, yang harus selaras dengan kehidupan Bali dan falsafah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana menjunjung tinggi keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). 

Sejak tahun 2020, saat dikeluarkan Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali, pemerintah daerah menjadikan Tri Hita Karana dan kearifan lokal Sad Kerthi sebagai acuan dalam melakukan praktik kepariwisataan.

Peraturan tersebut menetapkan bahwa praktik pariwisata harus berorientasi pada prinsip keberlanjutan, dan pelestarian lingkungan dan budaya akan terjadi jika pertanian dan alam tetap terjaga. Aliansi Pelaku Pariwisata Marjinal Bali berupaya menyeimbangkan antara pembangunan pertanian dan pembangunan pariwisata, dengan sistem pertanian yang kuat menghasilkan produksi pangan yang melimpah dan menjaga kelestarian ekosistem. Sawah tersisa di Bali harus dilindungi, karena konversi lahan masih menjadi ancaman utama, dan tata ruang di Bali perlu diperbaiki.

Kawasan Nusa Dua memberikan contoh bagaimana filosofi Tri Hita Karana dapat diterapkan untuk mengelola pariwisata secara berkelanjutan. PT Pengembangan Pariwisata Indonesia berkomitmen menerapkan filosofi Tri Hita Karana dalam mengelola kawasan Nusa Dua, dengan master plan yang memiliki tata letak bangunan berdasarkan konsep Bali Tri Hita Karana. 

Sembilan pura terletak di kawasan Nusa Dua, dan salah satunya berada di Grand Hyatt Hotel yang dikelola masyarakat bukan hotel, dengan masyarakat berbondong-bondong ke pura saat upacara melasti. Kehidupan masyarakat Bali yang berakar pada filosofi Tri Hita Karana dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan pariwisata, menjaga kelestarian alam dan menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan wisatawan serta hubungan dengan Tuhan.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.