Bali dalam Cengkeraman Pembangunan: Renungan tentang Harmoni yang Pudar

Photo by Harry Kessell

Pulau Bali pernah dikenal sebagai surga kecil di bumi, di mana suara gemericik air sungai, desiran angin di sawah, dan cuitan burung di hutan menjadi irama alami yang menenangkan. Tapi kini, suara mesin dan dentuman alat berat telah menggantikan kedamaian itu. Zona hijau—yang dulu menjadi penyeimbang ekosistem—perlahan hilang, tergeser oleh proyek-proyek besar, vila, dan jalan tol. Pohon-pohon ditebang, sawah-sawah lenyap, sementara monyet, musang, dan hewan liar lainnya kehilangan habitat alaminya, tersingkir ke tepi kehidupan yang semakin sempit.

Bali sedang berubah, namun apakah perubahan ini berjalan ke arah yang benar? Pembangunan yang seolah tanpa kendali dan batas menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah kita sedang memupuk kesejahteraan, atau justru sedang menggali lubang kehancuran bagi masa depan kita?

Refleksi: ‘Kemajuan’ versus ‘melangkah ke belakang’

Pembangunan seringkali dianggap sebagai tanda kemajuan. Lebih banyak hotel berarti lebih banyak wisatawan, dan lebih banyak wisatawan diharapkan berarti kemakmuran bagi penduduk lokal. Namun, di balik itu, ada harga mahal yang harus dibayar—harga yang tak selalu bisa diukur dengan uang. Ketika tanah hijau diganti dengan beton, apa yang hilang bukan sekadar lahan, tapi juga ruh dari tanah itu sendiri.

Hewan-hewan yang dulunya hidup berdampingan dengan masyarakat kini tersesat, merangsek ke permukiman atau mati tanpa tempat tinggal. Sungai-sungai tercemar, sementara kebisingan dan polusi udara meracuni ketenangan alam. Dan yang paling menyedihkan, dalam hiruk-pikuk ambisi ini, kita seolah-olah melupakan prinsip Tri Hita Karana—ajaran luhur yang mengingatkan kita tentang pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.

Tri Hita Karana: Cahaya di Tengah Kegelapan

Tri Hita Karana bukan sekadar filosofi, tetapi napas kehidupan masyarakat Bali. Konsep ini mengajarkan bahwa kesejahteraan hanya bisa dicapai ketika kita hidup selaras—bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan dan Sang Pencipta. Sayangnya, dalam pusaran modernisasi dan kerakusan, prinsip ini tampaknya semakin terlupakan.

Keserakahan membawa kita pada ilusi bahwa semakin banyak adalah semakin baik. Namun, alam tidak mengenal logika itu. Ia bekerja dalam keseimbangan—ketika satu unsur rusak, seluruh tatanannya terguncang. Dan ketika alam mulai marah, tak ada kekuatan manusia yang bisa menghentikannya.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Inilah saatnya bagi kita, sebagai bangsa, untuk berhenti sejenak dan merenung: Apakah kita sudah berada di jalur yang benar? Apakah pembangunan tanpa batas ini benar-benar membawa manfaat jangka panjang, atau justru sedang menyiapkan bencana bagi generasi mendatang?

Bali tidak hanya membutuhkan wisatawan dan investasi, tetapi juga penghormatan. Pembangunan yang bijak adalah pembangunan yang tidak hanya memikirkan keuntungan, tetapi juga dampak sosial dan lingkungan. Kita harus kembali pada akar nilai-nilai kebijaksanaan lokal—menghidupkan kembali Tri Hita Karana, menghormati alam, dan mengingat bahwa kita hanyalah bagian kecil dari ekosistem besar.

Kembali ke Jalan Harmoni

Bali bukan sekadar destinasi, melainkan cerminan dari siapa kita sebagai bangsa. Jika kita terus menutup mata terhadap kerusakan yang terjadi, kita tidak hanya akan kehilangan Bali yang kita cintai, tetapi juga kehilangan diri kita sendiri.

Saatnya kita melangkah dengan bijak, merawat bumi seperti kita merawat diri sendiri, dan berhenti menilai keberhasilan hanya dari angka-angka. Harmoni bukanlah sesuatu yang bisa dibeli—ia harus dihidupi dengan hati yang tulus dan kesadaran bahwa hidup ini bukan tentang menguasai, tetapi tentang berbagi.

Mari kita jaga Bali, agar ia tetap menjadi pulau cahaya, bukan hanya bagi wisatawan, tapi juga bagi semua makhluk yang hidup di dalamnya—manusia, hewan, dan alam, dalam satu simfoni kehidupan yang seimbang dan indah.

Cheryl Marella

Founder Good Shot ID
Managing Editor Tatler Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published.