Kemegahan Budaya: Festival Lom Plai Tahunan Dayak Wehea Menyinari Kalimantan Timur.

Sumber: 1001indonesia.net

Di pusat Desa Nehas Liah Bing, suasana dipenuhi kegembiraan dan persatuan saat masyarakat Dayak Wehea memulai ritual tahunan mereka yang dikenal dengan nama “lom plai”.

Tradisi ini, yang merupakan perayaan rasa syukur pascapanen atas berkah yang diberikan oleh alam dan lingkungan, menjadi pusat perhatian, menciptakan permadani kekayaan budaya yang semarak.

Baca: Tradisi Tari Grebeg Wiratama Malang yang Abadi

Dimuat dari Tempo, jalanan Desa Nehas Liah Bing menjadi semarak dengan kemeriahan ritual lom plai.

Warga melakukan upaya komunal untuk menghiasi desa adat suku Dayak Wehea di kawasan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Lanskapnya disulap dengan hiasan daun kelapa dan struktur kayu dalam berbagai aneka macam bentuk tampak meriah, yang menandakan betapa pentingnya tradisi ini bagi masyarakat Dayak Wehea.

Ledjie Taq, Kepala Adat Dayak Wehea, menggambarkan lom plai sebagai festival pascapanen tahunan yang unik bagi masyarakat Dayak Wehea.

“Lom plai secara harafiah berarti pesta padi, perayaan pasca panen tahunan suku Dayak Wehea,” jelas Ledjie.

Ketika waktu lom plai tiba, hampir seluruh masyarakat Dayak Wehea yang sedang merantau kembali mengikuti fenomena budaya tersebut.

Siang Geah, salah satu warga, menegaskan tradisi ini tidak bisa dipisahkan dari jati diri mereka dan harus dilestarikan.

Bukan sekadar ritual pascapanen, melainkan momen refleksi dan rasa syukur.

“Kita harus bersyukur dan menjaga sumber daya kita, seperti membuka lahan dan berburu secara tidak berlebihan,” kata Siang.

Menurut Siang, lom plai merupakan perwujudan kearifan lokal masyarakat Dayak Wehea dalam menjaga kelestarian sumber daya alam, termasuk hutan dan seisinya.

Hal ini juga terkait dengan kepercayaan akan pengorbanan Ratu Dyang Yung yang mengorbankan putri satu-satunya, Long Dyang Yung, untuk mengakhiri kekeringan berkepanjangan.

Sebelum ritual, ia meninggalkan pesan yang menghimbau agar merawat padi seperti anak kecil.

“Sejak saat itu, ritual lom plai diadakan,” tambahnya. Rangkaian ritual lom plai diawali dengan “ngesea egung”, yaitu pemukulan gong sebagai tanda dimulainya upacara.

Dilanjutkan dengan “guei neakleang”, penyebaran anyaman rotan yang mencapai 20-40 meter.

Di bawah guei neakleang, buah guaq pis atau petete ditempatkan, batang padi, ketupat, pisang, dan buah-buahan lainnya ditempatkan untuk menjamin tumbuh suburnya padi.

Ketupat dan pisang dijadikan sebagai persembahan kepada para dewa. Ritual dilanjutkan dengan “laq pesyai”, yaitu mengambil anyaman rotan untuk menikmati makanan di bawahnya.

Berikutnya adalah “hanyut sesaji”, yaitu menghanyutkan sesajen dengan perahu di sungai. Seorang perempuan dewasa kemudian mengambilkan air untuk disiramkan pada sosok adat tersebut, dilanjutkan dengan saling menyiram antar peserta.

Para peserta lom plai juga berkeliling desa sambil membawa arang untuk dioleskan ke wajah orang yang melakukan ritual tersebut.

Baca juga: Candi Bentar Bali: Gerbang Menuju Budaya dan Keselarasan

“Marah tidak boleh, ini hanya terjadi setahun sekali,” ungkap seorang warga. Puncak acaranya adalah “embos min” atau prosesi pembersihan desa.

Wanita yang mengenakan pakaian tradisional melintasi desa, menandakan perlunya kebersihan dan pemberantasan penyakit.

“Makna embos min adalah membuang segala musibah dan perbuatan salah yang ada di desa,” jelas Ledjie, merangkum makna mendalam tradisi lom plai bagi masyarakat Dayak Wehea.

Leave a Reply

Your email address will not be published.