//

Responsibility Over Sustainability

img courtesy SukkhaCitta

Fokus pada tanggung jawab daripada keberlanjutan bisa menjadi solusi yang lebih baik untuk menyelamatkan planet kita. Tanpa tanggung jawab, keberlanjutan hanyalah tipu muslihat pemasaran.

“Setelah menjalankan Sukkhacitta selama enam tahun, Saya rasa tidak ada halnya sustainability dalam fesyen.” – Denica Rriadini-Flesch, pendiri dan CEO dari Sukkhacitta. ‘Keberlanjutan’ seringkali digunakan hanya untuk tujuan pemasaran oleh banyak merek fesyen. Menurut pendiri dan CEO Sukkhacitta, tidak ada yang benar-benar mempertanyakan siapa yang kita sustain. Apakah hanya dengan mengganti plastik menjadi plastik singkong, kita menjadi sustainable? Atau hanya dengan memakai barang bekas, kita menjadi sustainable? Apa apakah kita benar-benar melakukan untuk mendukung lingkungan?

Istilah ‘sustainability‘ sering disebut sebagai ‘melakukan lebih sedikit kerusakan’. Bagi Denica, ini adalah gagasan yang absurd karena kita mempertahankan sistem yang tidak berkelanjutan, untuk memulai sesuatu, karena seluruh industri bergantung pada konsumerisme, overproduksi dan konsumsi berlebihan. Jadi, jika ditanya tentang apa arti sustainability baginya, itu benar-benar pemahaman tentang perjalanan nyata yang terjadi dalam membuat pakaian kita. Tidak hanya mempersoalkan siapa yang membuatnya atau bagaimana pembuatannya, melainkan mempertanyakan dari mana bahannya, bagaimana tumbuhnya, dan apa dampaknya. Ini adalah pertanyaan yang perlu kita tanyakan pada diri kita sendiri.

Sukkhacitta adalah perusahaan sosial pemenang penghargaan yang lebih berfokus pada tanggung jawab daripada keberlanjutan. Menjadi merek fesyen pertama yang menerima sertifikasi B-Corp sebagai Terbaik untuk Dunia di Indonesia, 100% produk mereka dibuat untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak lingkungan dan meningkatkan standar upah hidup di pedesaan. Mereka tidak bekerja dengan pabrik. Mereka bekerja secara langsung dengan desa-desa yang sangat terdesentralisasi. Secara global, ada merek fesyen lain, seperti Patagonia dan Eileen Fisher, yang menerima sertifikasi tersebut. “Kami merasa terhormat berada di liga yang sama dengan para pionir luar biasa ini”, kata Denica. “Keberlanjutan lebih merupakan pola pikir ingin menjadi lebih baik” lanjutnya.

Img courtesy SukkhaCitta

Sustainability bukanlah konsep hitam-putih. Tetapi keberlanjutan lebih merupakan pola pikir keingintahuan dan temuan progresif dari keinginan untuk meningkatkan praktik bisnis sehingga kita dapat menciptakan dampak yang lebih positif daripada hanya mengurangi kerugian. Ini kemudian menjadi tanggung jawab kami. 

Contohnya, ketika Sukkhacitta pertama kali dimulai, lebih fokus pada ibu-ibu. Saat dimulai, Denica mulai menemukan masalah tentang pewarnaan sintetis. Berton-ton bahan kimia dibuang ke sungai hanya untuk mewarnai pakaian yang diproduksinya. Dia kemudian pergi dari desa ke desa, mencari resep kuno dari nenek moyang. Resep lama ini ditemukan cara mewarnai pakaian dengan bahan-bahan alami, yang mulai dilakukan oleh Sukkhacitta.

Masalah baru kemudian muncul. Diketahui, 99,9% kapas di Indonesia sebenarnya diimpor dan tidak diketahui asal usulnya dari mana dan bagaimana penanamannya. Jadi, saat itulah Denica juga mulai berkeliling desa untuk mencari generasi petani kapas Indonesia yang terakhir untuk memanen kapas.

Selain berfokus pada tanggung jawab, brand fesyen ini juga berfokus pada ketertelusuran. Setiap motif dalam koleksinya memiliki cerita yang dapat dirunut sampai ke kampung-kampung di Indonesia. Misalnya Seribu Bunga yang dulunya digunakan para ibu-ibu di Desa Gesikharjo untuk mengajari membatik kepada anak perempuannya. Kini para wanita tersebut terbengkalai karena tidak bisa mencari nafkah, membuat motif ini menjadi terlupakan. Namun motif tersebut dihidupkan kembali melalui rumah Sukkhacitta di desa Gesikharjo. Dengan menjadi konsumen, mengenakan Seribu Bunga dapat membuat Anda merasa lebih terhubung dengan ibu-ibu di desa Gesikharjo yang kini dapat melestarikan budayanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.