Mengungkap Layang-Layang Kaghati Kolope Kuno Indonesia

Sumber: bobogrid.id

Dalam bidang seni udara, Indonesia memiliki permata tersembunyi: Kaghati Kolope, layang-layang tertua di dunia, yang berasal dari Kabupaten Muna yang indah di Sulawesi Selatan.

Berusia 4.000 tahun yang lalu, layang-layang ini tidak hanya mewujudkan bentuk keahlian kuno tetapi juga warisan budaya yang kaya bahkan sebelum layang-layang Tiongkok yang paling awal.

Baca: Gema Sejarah di Istana Kepresidenan Jogyakarta

Penemuan Kaghati Kolope diketahui oleh peneliti Wolfgang Bick pada tahun 1997 yang menemukan lukisan gua di Gua Sugi, Desa Liangkobori, Muna.

Lukisan yang menggambarkan tangan manusia sedang menerbangkan layang-layang ini menantang keyakinan lama bahwa layang-layang pertama kali muncul dari Tiongkok 2.400 tahun lalu.

Dibuat dari bahan-bahan alami seperti daun kolope, kulit bambu, serat nanas, dan tali, layang-layang ini mencerminkan kecerdikan dan keterkaitan masyarakat Muna dengan alam.

Awalnya, Kaghati Kolope memiliki tujuan spiritual bagi suku Muna, melambangkan pemujaan terhadap api yang memancar dari matahari.

Ritual tersebut melibatkan menerbangkan layang-layang selama seminggu, yang berpuncak pada pelepasannya ke angkasa pada hari ketujuh, sebuah isyarat yang diyakini memberikan perlindungan kepada suku tersebut.

Namun, masuknya Islam di Muna mengubah praktik ini, menjadikan layang-layang hanya sekedar objek hiburan dan alat yang berguna untuk melindungi sawah dari hama.

Meskipun ada perubahan-perubahan ini, Kaghati Kolope tetap menjadi elemen penting dalam struktur budaya Muna.

Dimensi layang-layang yang panjangnya 1,9 meter dan lebar 1,5 meter ini menuntut angin kencang untuk terbang, biasanya angin timur bertiup dari Juli hingga September.

Selama bulan-bulan ini, Festival Kaghati Kolope menghidupkan tradisi kuno ini, menampilkan berbagai layang-layang yang melukis langit dengan desain unik dan sejarah yang dinamis.

Ada enam jenis Kaghati Kolope yang diketahui, masing-masing memiliki ciri berbeda:

Bhangkura: Layang-layang berbentuk berlian yang paling umum.

Bhalampotu: Memiliki tiang vertikal yang lebih pendek dari tiang horizontal, diikat di bagian atas 2/5.

Kasopa: Mirip dengan Bhalampotu tetapi dengan perbandingan kutub yang berbeda.

Wantafotu: Dibedakan dari panjang tiang vertikal, diikat sekitar 5/9 dari atas.

Salabanga: Layang-layang berbentuk berlian dengan sisi asimetris.

Sopi Fotu: Dikenal dengan penerbangan berkecepatan tinggi, dengan desain atas yang lebih tajam.

Setiap jenisnya, mulai dari Bhangkura yang sederhana hingga Sopi Fotu yang cepat, menceritakan kisah kecerdikan dan keterkaitan masyarakat Muna dengan lingkungannya.

Baca juga: Gereja Santa Maria De Fatima: Perpaduan Iman dan Budaya di Jakarta

Layang-layang ini bukan sekadar mainan; mereka adalah bukti warisan keahlian, komunitas, dan kreativitas.

Saat ini, Kaghati Kolope berdiri sebagai simbol kekayaan budaya Indonesia, pengingat akan keterampilan dan tradisi kuno yang telah membentuk identitas bangsa.

Saat kita melihat layang-layang yang terbang tinggi, kita tidak hanya menyaksikan tampilan berwarna-warni; kita melihat sekilas kisah masa lalu yang terus berdebar dan menari mengikuti angin waktu.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.